Friday 28 March 2014

RESENSI BUKU KUMPULAN CERPEN SENYUM KARYAMIN KARYA AHMAD TOHARI

RESENSI SENYUM KARYAMIN
Sebenarnya, “Kata Penutup” dari Sapardi Djoko Damono sudah cukup mewakili untuk membicarakan kumpulan cerpen Ahmad Tohari ini. Cerpen-cerpen yang dipublikasikan sepanjang tahun 80-an ini menciptakan sebuah dunia yang terasa asing bagi orang-orang yang telah lebur menjadi bagian dari kota besar. Tohari, menurut Damono, rupanya memiliki sesuatu yang penting yang harus disampaikan kepada kita. Beberapa contoh masalah dalam masyarakat, yang diangkat dalam cerpen-cerpennya, kadang berfungsi sebagai lambang masalah lain yang mengatasi kehidupan sehari-hari.
Judul kumpulan cerpen ini adalah Senyum Karyamin. Agaknya, judul itu sendiri dapat menyuratkan makna yang ingin diangkat dalam cerpen-cerpen di dalamnya. Senyum—untuk kepahitan hidup yang sering mendera Karyamin (wakil dari orang-orang desa yang miskin, yang pinggiran, dan juga yang tersingkir dari masyarakat desa) tanpa mengetahui jalan keluar darinya, dari kepahitan itu. Senyum sebagai lambang dari usaha menerima nasib, bahkan menertawainya (!), karena apa boleh buat. Dan dalam hampir 13 cerpen, “senyum” itu ada.
Dalam cerpen “Senyum Karyamin”, seorang tukang batu terpeleset berkali-kali menumpahkan batu-batu kali yang diangkatnya. Sakit. Perutnya lapar tak berisi karena tak ada uang. Sementara utang menumpuk, tengkulak yang menadah batu-batu itu kabur membawa upah mengangkut batu. Belum lagi tagihan untuk sumbangan-sumbangan yang mengancam dari pamong pemerintah setempat. Ia tersenyum.
Senada dengannya ada dalam “Blokeng”. Ia seorang wanita muda yang melahirkan. Tak ada bapak yang sah dari bayinya. Andai Blokeng bukan wanita yang terkucilkan dari masyarakat, mungkin peristiwa itu biasa saja. Satu kampung gerah, jadinya. Tapi Blokeng tetap diam. Bahkan tertawa ketika masing-masing lelaki berulah agar tak disangka sebagai bapak si bayi.
Blokeng yang dikucilkan hampir sama riwayatnya dengan Sulam dalam “Wangon Jatilawang”. Sulam adalah orang yang tak waras. Ibunya juga. Tapi masyarakat menjauhinya. Hidupnya dihabiskan dari pasar ke pasar. Entah apa nafkahnya. Mungkin mengemis, mungkin pula mengais. Dari sisa-sisa rezeki masyarakat, ia menambal perutnya yang lapar.
Ketika lapar bicara, memang terkadang logika dipersetankan. “Surabanglus” bercerita tentang nasib 2 orang pencari kayu bakar yang dikejar-kejar polisi hutan. Mereka dianggap pencuri, meski sudah dipaksa bayar karcis (kadaluarsa) oleh seorang oknum. Dalam pengejaran, lapar mendera hebat. Hingga singkong beracun pun disiapkan untuk mengganjal perut.
Kalau lapar yang bicara karena keadaan ekonomi, maka keadaan ekonomi itu pula sering dijadikan hakim untuk memutuskan. Seorang penyadap nira kelapa, dalam “Jasa-jasa buat Sanwirya,” jatuh dari pohon. Sementara ia berusaha ditolong dengan jasa dukun setempat, para tetangga sibuk membicarakan apa dan siapa yang akan menawarkan jasa untuk diberikan pada korban. Belum lagi menemukan titik terang karena pertimbangan keadaan ekonomi masing-masing penawar jasa, korban dijemput ajalnya.
Lain lagi dengan “Pengemis & Sholawat Badar” dan “Orang-orang di Seberang Kali”. Seperti sinetron-sinetron religius yang menjamur di televisi sekarang, demikian juga dengan 2 cerpen ini. Di terminal Cirebon, seorang lelaki mengemis sambil menyenandungkan “sholawat badar”. Sholawat yang mungkin dipelajarinya di pengajian-pengajian kampungnya jadi modal untuk mencari nafkah di sebuah bis. Tapi ia menuai caci dari kondektur bis. Akibatnya, kita bisa menebak. Begitu pun dalam “Orang-orang di Seberang Kali.” Seseorang yang suka mengadu ayam kesulitan pada waktu ajal menjemputnya. Tangannya mengepak-ngepak, jari-jarinya mencakar-cakar, seperti ayam. Ia meninggal setelah berkokok berkali-kali.
Satu-satunya yang berlatar peristiwa penembakan misterius—yang menghebohkan masyarakat pada tahun-tahun awal 80-an—adalah “Ah, Jakarta”. Biang-biang penjahat ditembaki dan mayat-mayatnya dibiarkan begitu saja teronggok di tempat-tempat umum. Bayangkan, bila salah satu mayat itu adalah teman karib waktu kecil yang membawa nasib buruk dari Jakarta sedangkan tak ada satu pun mau peduli mengurusi mayatnya di kampung.
Berbeda dengan nasib yang dibawa dari Jakarta, kawin di usia dini sering sudah menjadi nasib bagi gadis kampung. Dalam “Si Minem Beranak Bayi”, kandungan yang biasanya 9 bulan, sudah keluar sebelum 7 bulan. Bayi itu seperti anak kucing. Hidup, tapi sebesar lengan. Minem si ibu bayi—berusia 14 tahun—ternyata akan memiliki adik ipar pada saat bakal istrinya itu berusia 12 tahun. Minem rasanya belum tahu bahwa dulu ia lahir waktu ibunya berusia 14 tahun juga.
Dan orang-orang kampung bisa menyombong diri, tak hanya orang-orang kaya. Lewat “Tinggal Matanya Berkedip-Kedip” dan “Kenthus”, Ahmad Tohari bercerita tentang kesombongan orang-orang miskin di kampung. Musgepuk menunjukkan kesombongannya dengan menundukkan si Cepon, seekor kebo yang mogok membajak sawah. Kebo itu memang roboh, tapi tetap tak mau menuruti perintahnya untuk membajak lagi. Adapun Kenthus memandang enteng orang-orang sekampung atas dasar wewenang yang diberikan ketua RT. Ia mempermainkan orang-orang lain dengan wewenang itu yang kebetulan sudah dikabarkan juga melalui mimpinya. Ia yakin sudah mendapat wangsit bagi orang-orang kampung.
Orang-orang sekampung yang girang mendapat listrik, ternyata tidak semua. “Rumah yang Terang” berisi cerita tentang Pak Haji yang menolak listrik di rumahnya. Anak lelakinya, seorang propagandis pemakaian kondom dan spiral, disudutkan tetangga sekitar tentang sikap bapaknya yang menolak listrik itu. Dalam keserbasalahan itu, ajal menjemput bapaknya. Tetangga sekitar lega, padahal alasan Pak Haji menolak itu sebenarnya sederhana sekali.
Menyangkut ajal, bagi orang-orang kampung, pohon pun dapat diancam. Sebatang pohon jengkol tak mau berbuah. Padahal sering berbunga banyak. Pohon itu pun akhirnya diancam akan ditebang, akan dicabut ajalnya, bila tak mau berbuah juga. Pohon jengkol yang disyukuri berbuah ini diceritakan dalam “Syukuran Sutabawor”.
Dalam semua cerpennya itu, Ahmad Tohari hampir selalu mengajukan ironi ke hadapan pembaca. Ada sesuatu yang tertinggal dan mengganjal kesadaran kita sebagai pembacanya. Memang, seperti kata Damono, dunia yang dihadirkan Ahmad Tohari adalah dunia lain yang sering tak pernah terbayang di benak kita. Bukan seperti absurditas yang ditawarkan di dalam cerpen-cerpen Putu Wijaya atau Seno Gumira Ajidarma dan Danarto dalam “Godlob”, bukan pula dunia yang nyaris datar dalam cerpen-cerpen Kuntowijoyo.
Namun terkadang, dalam cerpen-cerpennya itu, Ahmad Tohari sering mendudukkan dirinya sebagai “aku” yang satu-satunya menolong. Seperti ada pesan, ada dakwah, dalam cerita itu. Dalam “Wangon Jatilawang”, seakan terkesan si “aku”-lah satu-satunya yang menolong Sulam. Dalam “Surabanglus”, seolah “aku”-lah yang masih berakal bahwa singkong itu beracun. Demikian pula dalam “Ah, Jakarta” dan “Orang-Orang di Seberang Kali”, “aku” di sana tampil sebagai sang penyelamat dan seolah-olah bukan pribadi yang berlumpur dosa-dosa.
Damono sendiri mengkritik Ahmad Tohari. Menurutnya, Ahmad Tohari kadang-kadang tak bisa menjaga ironi yang ada dalam cerpennya. Ia sering tak mampu menguasai diri untuk menyampaikan pesan secara biasa. Ia sering berlebihan dan terkesan sok pintar. Pada cerpen “Blokeng”, tambah Damono, akhir cerita terkesan dipaksa; Ahmad Tohari memaksa para pembaca untuk mengejek dunia rekaannya itu dengan tertawa keras. Akibatnya, Ahmad Tohari tampak sebagai pemberi “nasihat secara berlebihan” (hal 68-69)
Kumpulan cerpen Ahmad Tohari ini sudah lama terbit. Hanya saja, bagi mereka yang ingin melihat bagian lain dari khasanah cerpen-cerpen sastra Indonesia, cerpen-cerpen Ahmad Tohari ini agaknya memberi gambaran penting; bahwa yang digali tak melulu keadaan sosial-ekonomi masyarakat desa dari sudut pandang kekotaan, bahwa yang diangkat bukan melulu derita orang-orang miskin dalam kesedihannya.

oleh : Rimbun Natamarga

No comments:

Post a Comment