RESENSI
SENYUM KARYAMIN
Sebenarnya, “Kata
Penutup” dari Sapardi Djoko Damono sudah cukup mewakili untuk membicarakan
kumpulan cerpen Ahmad Tohari ini. Cerpen-cerpen yang dipublikasikan sepanjang
tahun 80-an ini menciptakan sebuah dunia yang terasa asing bagi orang-orang
yang telah lebur menjadi bagian dari kota besar. Tohari, menurut Damono,
rupanya memiliki sesuatu yang penting yang harus disampaikan kepada kita.
Beberapa contoh masalah dalam masyarakat, yang diangkat dalam cerpen-cerpennya,
kadang berfungsi sebagai lambang masalah lain yang mengatasi kehidupan
sehari-hari.
Judul kumpulan
cerpen ini adalah Senyum Karyamin. Agaknya, judul itu sendiri dapat menyuratkan
makna yang ingin diangkat dalam cerpen-cerpen di dalamnya. Senyum—untuk
kepahitan hidup yang sering mendera Karyamin (wakil dari orang-orang desa yang
miskin, yang pinggiran, dan juga yang tersingkir dari masyarakat desa) tanpa
mengetahui jalan keluar darinya, dari kepahitan itu. Senyum sebagai lambang
dari usaha menerima nasib, bahkan menertawainya (!), karena apa boleh buat. Dan
dalam hampir 13 cerpen, “senyum” itu ada.
Dalam cerpen
“Senyum Karyamin”, seorang tukang batu terpeleset berkali-kali menumpahkan
batu-batu kali yang diangkatnya. Sakit. Perutnya lapar tak berisi karena tak
ada uang. Sementara utang menumpuk, tengkulak yang menadah batu-batu itu kabur
membawa upah mengangkut batu. Belum lagi tagihan untuk sumbangan-sumbangan yang
mengancam dari pamong pemerintah setempat. Ia tersenyum.
Senada dengannya
ada dalam “Blokeng”. Ia seorang wanita muda yang melahirkan. Tak ada bapak yang
sah dari bayinya. Andai Blokeng bukan wanita yang terkucilkan dari masyarakat,
mungkin peristiwa itu biasa saja. Satu kampung gerah, jadinya. Tapi Blokeng
tetap diam. Bahkan tertawa ketika masing-masing lelaki berulah agar tak disangka
sebagai bapak si bayi.
Blokeng yang
dikucilkan hampir sama riwayatnya dengan Sulam dalam “Wangon Jatilawang”. Sulam
adalah orang yang tak waras. Ibunya juga. Tapi masyarakat menjauhinya. Hidupnya
dihabiskan dari pasar ke pasar. Entah apa nafkahnya. Mungkin mengemis, mungkin
pula mengais. Dari sisa-sisa rezeki masyarakat, ia menambal perutnya yang
lapar.
Ketika lapar
bicara, memang terkadang logika dipersetankan. “Surabanglus” bercerita tentang
nasib 2 orang pencari kayu bakar yang dikejar-kejar polisi hutan. Mereka
dianggap pencuri, meski sudah dipaksa bayar karcis (kadaluarsa) oleh seorang
oknum. Dalam pengejaran, lapar mendera hebat. Hingga singkong beracun pun disiapkan
untuk mengganjal perut.
Kalau lapar yang
bicara karena keadaan ekonomi, maka keadaan ekonomi itu pula sering dijadikan
hakim untuk memutuskan. Seorang penyadap nira kelapa, dalam “Jasa-jasa buat
Sanwirya,” jatuh dari pohon. Sementara ia berusaha ditolong dengan jasa dukun
setempat, para tetangga sibuk membicarakan apa dan siapa yang akan menawarkan
jasa untuk diberikan pada korban. Belum lagi menemukan titik terang karena
pertimbangan keadaan ekonomi masing-masing penawar jasa, korban dijemput
ajalnya.
Lain lagi dengan
“Pengemis & Sholawat Badar” dan “Orang-orang di Seberang Kali”. Seperti
sinetron-sinetron religius yang menjamur di televisi sekarang, demikian juga
dengan 2 cerpen ini. Di terminal Cirebon, seorang lelaki mengemis sambil
menyenandungkan “sholawat badar”. Sholawat yang mungkin dipelajarinya di
pengajian-pengajian kampungnya jadi modal untuk mencari nafkah di sebuah bis.
Tapi ia menuai caci dari kondektur bis. Akibatnya, kita bisa menebak. Begitu
pun dalam “Orang-orang di Seberang Kali.” Seseorang yang suka mengadu ayam
kesulitan pada waktu ajal menjemputnya. Tangannya mengepak-ngepak, jari-jarinya
mencakar-cakar, seperti ayam. Ia meninggal setelah berkokok berkali-kali.
Satu-satunya yang
berlatar peristiwa penembakan misterius—yang menghebohkan masyarakat pada
tahun-tahun awal 80-an—adalah “Ah, Jakarta”. Biang-biang penjahat ditembaki dan
mayat-mayatnya dibiarkan begitu saja teronggok di tempat-tempat umum.
Bayangkan, bila salah satu mayat itu adalah teman karib waktu kecil yang
membawa nasib buruk dari Jakarta sedangkan tak ada satu pun mau peduli
mengurusi mayatnya di kampung.
Berbeda dengan
nasib yang dibawa dari Jakarta, kawin di usia dini sering sudah menjadi nasib
bagi gadis kampung. Dalam “Si Minem Beranak Bayi”, kandungan yang biasanya 9
bulan, sudah keluar sebelum 7 bulan. Bayi itu seperti anak kucing. Hidup, tapi
sebesar lengan. Minem si ibu bayi—berusia 14 tahun—ternyata akan memiliki adik
ipar pada saat bakal istrinya itu berusia 12 tahun. Minem rasanya belum tahu
bahwa dulu ia lahir waktu ibunya berusia 14 tahun juga.
Dan orang-orang
kampung bisa menyombong diri, tak hanya orang-orang kaya. Lewat “Tinggal
Matanya Berkedip-Kedip” dan “Kenthus”, Ahmad Tohari bercerita tentang
kesombongan orang-orang miskin di kampung. Musgepuk menunjukkan kesombongannya
dengan menundukkan si Cepon, seekor kebo yang mogok membajak sawah. Kebo itu
memang roboh, tapi tetap tak mau menuruti perintahnya untuk membajak lagi.
Adapun Kenthus memandang enteng orang-orang sekampung atas dasar wewenang yang
diberikan ketua RT. Ia mempermainkan orang-orang lain dengan wewenang itu yang
kebetulan sudah dikabarkan juga melalui mimpinya. Ia yakin sudah mendapat
wangsit bagi orang-orang kampung.
Orang-orang
sekampung yang girang mendapat listrik, ternyata tidak semua. “Rumah yang
Terang” berisi cerita tentang Pak Haji yang menolak listrik di rumahnya. Anak
lelakinya, seorang propagandis pemakaian kondom dan spiral, disudutkan tetangga
sekitar tentang sikap bapaknya yang menolak listrik itu. Dalam keserbasalahan
itu, ajal menjemput bapaknya. Tetangga sekitar lega, padahal alasan Pak Haji
menolak itu sebenarnya sederhana sekali.
Menyangkut ajal,
bagi orang-orang kampung, pohon pun dapat diancam. Sebatang pohon jengkol tak
mau berbuah. Padahal sering berbunga banyak. Pohon itu pun akhirnya diancam
akan ditebang, akan dicabut ajalnya, bila tak mau berbuah juga. Pohon jengkol
yang disyukuri berbuah ini diceritakan dalam “Syukuran Sutabawor”.
Dalam semua
cerpennya itu, Ahmad Tohari hampir selalu mengajukan ironi ke hadapan pembaca.
Ada sesuatu yang tertinggal dan mengganjal kesadaran kita sebagai pembacanya.
Memang, seperti kata Damono, dunia yang dihadirkan Ahmad Tohari adalah dunia
lain yang sering tak pernah terbayang di benak kita. Bukan seperti absurditas
yang ditawarkan di dalam cerpen-cerpen Putu Wijaya atau Seno Gumira Ajidarma dan
Danarto dalam “Godlob”, bukan pula dunia yang nyaris datar dalam cerpen-cerpen
Kuntowijoyo.
Namun terkadang,
dalam cerpen-cerpennya itu, Ahmad Tohari sering mendudukkan dirinya sebagai
“aku” yang satu-satunya menolong. Seperti ada pesan, ada dakwah, dalam cerita
itu. Dalam “Wangon Jatilawang”, seakan terkesan si “aku”-lah satu-satunya yang
menolong Sulam. Dalam “Surabanglus”, seolah “aku”-lah yang masih berakal bahwa
singkong itu beracun. Demikian pula dalam “Ah, Jakarta” dan “Orang-Orang di
Seberang Kali”, “aku” di sana tampil sebagai sang penyelamat dan seolah-olah
bukan pribadi yang berlumpur dosa-dosa.
Damono sendiri
mengkritik Ahmad Tohari. Menurutnya, Ahmad Tohari kadang-kadang tak bisa
menjaga ironi yang ada dalam cerpennya. Ia sering tak mampu menguasai diri
untuk menyampaikan pesan secara biasa. Ia sering berlebihan dan terkesan sok
pintar. Pada cerpen “Blokeng”, tambah Damono, akhir cerita terkesan dipaksa;
Ahmad Tohari memaksa para pembaca untuk mengejek dunia rekaannya itu dengan
tertawa keras. Akibatnya, Ahmad Tohari tampak sebagai pemberi “nasihat secara berlebihan”
(hal 68-69)
Kumpulan cerpen
Ahmad Tohari ini sudah lama terbit. Hanya saja, bagi mereka yang ingin melihat
bagian lain dari khasanah cerpen-cerpen sastra Indonesia, cerpen-cerpen Ahmad
Tohari ini agaknya memberi gambaran penting; bahwa yang digali tak melulu
keadaan sosial-ekonomi masyarakat desa dari sudut pandang kekotaan, bahwa yang
diangkat bukan melulu derita orang-orang miskin dalam kesedihannya.
oleh : Rimbun Natamarga
oleh : Rimbun Natamarga
No comments:
Post a Comment